Selasa, 21 Desember 2010

askep hipertropi kelenjar tiroid

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Tujuan dalam pengembangan kesehatan yang tercantum dalam fungsi kesehatan nasional (SKN) adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan nasional (Sumarmo,1998).
Struma koloid , difus, nontoksik dan nodular koloid merupakan gangguan yang sangat sering dijumpai dan menyerang 16 % perempuan dan 4 % laki-laki yang berusia antara 20 sampai 60 tahun seperti yang telah dibuktikan oleh suatu penyelidikan di Tecumseh, suatu komunitas di Michigan. Biasanya tidak ada gejala-gejala lain kecuali gangguan kosmetik, tetapi kadang-kadang timbul komplikasi-komplikasi. Struma mungkin membesar secara difus dan atau bernodula.
Struma endemic merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Sebab utamanya adalah efisiensi yodium, disamping factor-faktor lain misalnya bertambahnya kebutuhan yodium pada masa pertumbuhan, kehamilan dan laktasi atau pengaruh-pengaruh zat-zat goitrogenik.



BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP MEDIS

1. Pengertian

Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar - debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid (graves’ disease).
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.
Struma Diffusa toxica adalah salah satu jenis struma yang disebabkan oleh sekresi hormon-hormon thyroid yang terlalu banyak. Histologik keadaan ini adalah sebagai suatu hipertrofi dan hyperplasi dari parenkhym kelenjar.
Struma endemik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang disebabkan oleh asupan mineral yodium yang kurang dalam waktu yang lama.
Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul ,tanpa disertai tanda – tanda hipertiroidisme,berdasarkan jumlah nodul ,dibagi :
• Struma mononodosa non toksik
• Struma multinodosa nontoksik

Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif,nodul dibedakan menjadi : nodul dingin ,nodul hangat,nodul panas,
Sedangkan berdasarkan konsistensinya ,nodul dibedakan menjadi,nodul lunak ,nodul kistik, nodul keras,nodul sangat keras.
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.

2. Etiologi

Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
2. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
3. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
4. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang kedelai).
5. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).




3. Manifestasi Klinik

1. Berat badan menurun
2. Dispnea
3. Berkeringat
4. Diare
5. Kelelahan otot
6. Tremor (jari tangan dan kaki)
7. Oligomenore/amenore
8. Telapak tangan panas dan lembab
9. Takikardia, denyut nadi kadang tidak teratur karena fibrilasi atrium, pulses seler
10. Gugup, mudah terangsang, gelisah, emosi tidak stabil, insomnia.
11. Gondok (mungkin disertai bunyi denyut dan getaran).

4. Patofisiologi

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.







5. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar adanya struma yang bernodul dan tidak toksik, melalui :

1. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.
2. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troksin) dan T3 (triyodotironin) dalam batas normal.
3. Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau tidaknya nodul.
4. Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsi yang hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman.


6. Penatalaksanaan

Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat antara lain yaitu :

1. Edukasi
Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
2. Penyuntikan lipidol
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.
3. Tindakan operasi
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya : penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.


B. KONSEP KEPERAWATAN

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, penulis menggunakan pedoman asuhan keperawatan sebagai dasar pemecahan masalah pasien secara ilmiah dan sistematis yang meliputi tahap pengkajian, perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan secara keseluruhan guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan masalah kesehatan yang dihadapi pasien melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :
1. Aktivitas/istirahat ; insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
2. Eliminasi ; urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
3. Integritas ego ; mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
4. Makanan/cairan ; kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid, goiter.
5. Rasa nyeri/kenyamanan ; nyeri orbital, fotofobia.
6. Pernafasan ; frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).
7. Keamanan ; tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
8. Seksualitas ; libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Langkah selanjutnya adalah penentuan diagnosa keperawatan yang merupakan suatu pernyataan dan masalah pasien secara nyata maupun potensial berdasarkan data yang terkumpul.
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan struma nodosa nontoksis khususnya post operai dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
3. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.


3. INTERVENSI

Perencanaan keperawatan adalah penyusunan rencana tindakan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah pasien sesuai diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan pasien. Berdasarkan diagnosa keperawatan yang diuraikan di atas, maka disusunlah rencana keperawatan/intervensi sebagai berikut :
1. Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal.
Tujuan yang ingin dicpai sesuai kriteria hasil :
Mempertahankan jalan nafas paten dengan mencegah aspirasi.

Rencana tindakan/intervensi:
• Pantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan.
• Auskultasi suara nafas, catat adanya suara ronchi.
• Kaji adanya dispnea, stridor, dan sianosis. Perhatikan kualitas suara.
• Kaji adanya dispnea, stridor, dan sianosis. Perhatikan kualitas suara.
• Bantu dalam perubahan posisi, latihan nafas dalam dan atau batuk efektif sesuai indikasi.
Rasional :
• Pernafasan secara normal kadang-kadang cepat, tetapi berkembangnya distres pada pernafasan merupakan indikasi kompresi trakea karena edema atau perdarahan.
• Ronchi merupakan indikasi adanya obstruksi.spasme laringeal yang membutuhkan evaluasi dan intervensi yang cepat.
• Indikator obstruksi trakea/spasme laring yang membutuhkan evaluasi dan intervensi segera.
• Menurunkan kemungkinan tegangan pada daerah luka karena pembedahan.
• Lakukan pengisapan lendir pada mulut dan trakea sesuai indikasi, catat warna dan karakteristik sputum.


2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan saraf laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipahami.
Rencana tindakan/intervensi:
• Kaji fungsi bicara secara periodik.
• Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban ya atau tidak.
• Memberikan metode komunikasi alternatif yang sesuai, seperti papan tulis, kertas tulis/papan gambar.
• Antisipasi kebutuhan sebaik mungkin. Kunjungan pasien secara teratur.
• Beritahu pasien untuk terus menerus membatasi bicara dan jawablah bel panggilan dengan segera.
Rasional :
• Suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau kerusakan karena pembedahan pada saraf laringeal yang berakhir dalam beberapa hari kerusakan saraf menetap dapat terjadi kelumpuhan pita suara atau penekanan pada trakea.
• Menurunkan kebutuhan berespon, mengurangi bicara.
• Memfasilitasi eksprsi yang dibutuhkan.
• Menurunnya ansietas dan kebutuhan pasien untuk berkomunias.
• Mencegah pasien bicara yang dipaksakan untuk menciptakan kebutuhan yang diketahui/memerlukan bantuan.


3. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi terpenuhi/terkontrol.
Rencana tindakan/intervensi
• Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).
• Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang, misalnya gerakan tersentak, adanya kejang, prestesia.
• Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang rendah.
• Memantau kadar kalsium dalam serum.
• Kolaborasi berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
Rasional :
• Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.
• Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi 1 – 7 hari pasca operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid yang dapat terjadi sebagai akibat dari trauma yang tidak disengaja pada pengangkatan parsial atau total kelenjar paratiroid selama pembedahan.
• Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.
• Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.
• Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga menjadi permanen.

4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan paska operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. Menunjukkan kemampuan mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif sesuai situasi.
Rencana tindakan/intervensi :
• Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi, intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.
• Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal pasir/bantal kecil.
• Pertahankan leher/kepala dalam posisi netral dan sokong selama perubahan posisi. Instruksikan pasien menggunakan tangannya untuk menyokong leher selama pergerakan dan untuk menghindari hiperekstensi leher.
• Letakkan bel dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan yang mudah.
• Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
Rasional :
• Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan efektivitas terapi.
• Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari jahitan.
• Mencegah stress pada garis jahitan dan menurunkan tegangan otot.
• Membatasi ketegangan, nyeri otot pada daerah operasi.
• Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.

4. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah dirumuskan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien secara optimal dengan menggunakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. Dalam melaksanakan keperawatan, haruslah dilibatkan tim kesehatan lain dalam tindakan kolaborasi yang berhubungan dengan pelayanan keperawatan serta berdasarkan atas ketentuan rumah sakit.


5. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai tingkat keberhasilan dari asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Dari rumusan seluruh rencana keperawatan serta impelementasinya, maka pada tahap evaluasi ini akan difokuskan pada :
1. Apakah jalan nafas pasien efektif?
2. Apakah komunikasi verbal dari pasien lancar?
3. Apakah tidak terjadi tanda-tanda infeksi?
4. Apakah gangguan rasa nyaman dari pasien dapat terpenuhi?
5. Apakah pasien telah mengerti tentang proses penyakitnya serta tindakan perawatan dan pengobatannya?

Tidak ada komentar: